Surety bond merupakan suatu produk inovatif
perusahaan asuransi sebagai upaya pengambilalihan potensi resiko
kerugian yang mungkin dapat dialami oleh salah satu pihak atas
kepercayaan yang diberikannya pada pihak lain dalam pelaksanaan kontrak
yang telah disepakati oleh mereka.
Jaminan tertulis tersebut akan memberikan kewajiban untuk melakukan pembayaran oleh pihak asuransi selaku penjamin (surety) terhadap pihak penerima jaminan (obligee/kreditur) sebagai konsekuensi terhadap wanprestasi dari pihak yang dijamin (principal/debitur) tersebut. Kesuksesan perusahaan asuransi dalam memasarkan produk penjaminan atau penanggungan tersebut akan sangat ditentukan oleh kepastian pembayaran oleh pihak asuransi itu sendiri sebagai guarantor atau yang lebih dikenal dengan surety.
Sebagai contoh, proyek-proyek yang dibiayai oleh pemerintah, penawaran pengerjaannya
kepada para kontraktor selalu dilakukan melalui tender. Umumnya, selalu
mensyaratkan adanya jaminan dari kontraktor yang memenangkan tender
tersebut terhadap kepastian dan kualitas dari pelaksanaan proyek yang dimenangkannya tersebut sesuai dengan perjanjian yang disepakati.
Begitu pula bila pihak
pemberi kerja menyepakati untuk terlebih dahulu memberikan uang muka
kepada kontraktor dalam memulai pekerjaaannya. Umumnya, pemberi kerja
akan berupaya semaksimal mungkin untuk memproteksi dirinya terhadap
resiko kerugian bila kontraktor yang telah menerima uang muka tersebut
ternyata tidak melaksanakan pengerjaan proyek tersebut seperti yang
telah disepakati.
Contoh di atas, tidak saja melulu dilakukan dalam pekerjaan pemborongan yang sering menggunakan bentuk-bentuk jaminan seperti tender bond, advance payment bond, performance bond, maintenance bond, tapi juga sebagai jaminan kewajiban importir atas pembayaran pungutan negara atas impor yang terutang (customs bond).
Dibandingkan dengan bank guarantee, penjaminan atapun garansi yang dikeluarkan oleh lembaga perbankan, penggunaan surety bond tampaknya kalah populer dalam masyarakat dunia usaha. Banyak
pihak, terutama investor asing, yang belum menunjukkan keyakinan
terhadap kepastian penjaminan dengan menggunakan produk asuransi
tersebut.
Bila dikaji lebih dalam, respons positif yang belum begitu kuat muncul dari kalangan pelaku usaha terhadap penggunaan surety bond tidak selalu disebabkan karena
belum gencarnya sosialisasi ataupun pengiklanan produk penjaminan
tersebut oleh kalangan asuransi di masyarakat. Akan tetapi, lebih
disebabkan oleh beberapa kasus ketidakpastian penyelesaian klaim surety bond itu sendiri.
Dalam banyak kasus, pencairan surety bond tersebut sering sekali sangat bergantung kepada pernyataan bersalah dari pihak yang dijamin (principal). Padahal belum tentu pihak tersebut dapat secara gentlemen mengakui kesalahannya. Adanya beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam pencairan surety bond tersebut membuat pasar tidak begitu baik menyerap inovasi produk penjaminan yang diterbitkan asuransi tersebut.
Menteri Keuangan
sebagai pengawas dan pembina usaha perasuransian di Indonesia, dari
awal-awal sebenarnya telah menyadari bahwa konsekuensi hukum dari
penerbitan surety bond tersebut tidaklah mudah. Oleh karena itu, ijin untuk menerbitkan surety bond
dibatasi secara ketat. Dan malah pada awalnya, Kepres no. 14A tahun
1980 hanya diberikan pada PT Persero Asuransi Jasa Raharja.
Dalam perkembangannya, ijin penerbitan tersebut melalui Keputusan Menteri Keuangan RI
(KMK RI) No:761/KMK..013/1992 diperluas kepada 20 perusahaan asuransi.
Kemudian berdasarkan Surat Direktur Asuransi No. s.2272/DK/2001 tanggal
16 Mei 2001 yang ditujukan ke Pertamina, ada 22 perusahaan asuransi yang
berhak untuk menerbitkan surety bond.
Sementara untuk penerbitan surety bond sebagai penjaminan pembayaran kewajiban importir terhadap bea impor yang terutang pada negara (custom bond), Menteri Keuangan, berdasarkan KMKNno.108/KMK.01/1995,
hanya memberikan ijin pada 15 perusahaan asuransi. Artinya, tidak semua
perusahaan asuransi yang diperbolehkan oleh KMK RI No.761/KMK.013/1992
untuk menerbitkan surety bond, dapat menerbitkan surety bond untuk garansi pembayaran bea impor yang terutang (customs bond).
Dasar hukum penerbitan surety bond
Sebenarnya, KMK RI no. 761/KMK.013/1992 sebagai dasar kewenangan dari perusahaan-perusahan yang ditetapkan dapat menerbitkan surety bond dalam pekerjaan-pekerjaan pemborongan ataupun perdagangan yang dibiayai oleh APBN dan KMK RI No. 108/KMK.01/1995 sebagai dasar wewenang penerbitan customs bond,
tidak mengatur ataupun memberikan penjelasan tentang prinsip-prinsip
yang dianut oleh lembaga penjaminan ataupun tata cara penerbitan
penjaminan tersebut secara lengkap. Keputusan Menteri tersebut lebih
mengingatkan dalam konsideransnya agar prinsip-prinsip
penerbitan penjaminan tersebut disesuaikan dengan prinsip-prinsip usaha
perasuransian berdasarkan UU No. 2 tahun 1992.
Prinsip-prinsip penjaminan dalam surety bond itu
sendiri sebenarnya telah lama dikenal dalam KUH Perdata. Jaminan
tertulis yang diterbitkan oleh perusahaan asuransi tersebut lebih dikenal dengan lembaga penjaminan/penanggungan perorangan (borgtocht) yang diatur dari mulai Pasal 1820 sampai dengan pasal 1850 KUH Perdata.
Dari definisi penanggungan yang diterangkan oleh Pasal 1820 ditekankan bahwa penjaminan merupakan persetujuan yang bersifat accesoir yang pelaksanaannya akan sangat bergantung kepada perjanjian pokok yang mendasari terbitnya perjanjian jaminan tersebut. Artinya, bila perjanjian pokok yang melatarbelakangi terbitnya surety bond tersebut batal, maka akan mengakibatkan pula perjanjian surety bond sebagai perjanjian accesoir -nya batal (1821 KUH.Perdata)
Sifat accesoir tersebut sangat penting dipahami oleh perusahaan asuransi sebagai alasan penerbitan surety bond. Artinya, surety bond
tidak bisa diterbitkan begitu saja atau berdiri sendiri sesuai dengan
kebutuhan dari pihak yang membutuhkannya. Akan tetapi, harus didasarkan
oleh adanya perjanjian pokok yang sah dari kedua belah pihak berkontrak
(misalnya antara pemberi kerja (boheer) dengan kontraktor dalam
perjanjian pemborongan) yang membutuhkan diterbitkannya komitmen
penanggungan resiko atas kemungkinan tidak dilaksanakannya prestasi
kontraktor seperti yang diperjanjikan para pihak yang berkontrak dalam
kontrak pemborongan tersebut.
Pada dasarnya, pihak pemberi kerja (obligee/kreditur) sangat menginginkan kepastian hukum dari produk surety bond dalam hal kewajiban penanggungan kerugian harus direalisasikan sebagai akibat wanprestasi yang dilakukan oleh kontraktor (principal/debitur). Sebagai contoh, adanya hak-hak istimewa yang dimiliki oleh penanggung, seperti yang diatur dalam KUH Perdata.
Misalnya, tentang hak agar pihak penerima jaminan (obligee) ataupun kreditur terlebih dahulu melakukan penagihan terhadap debitur utama (principal)
sebelum melakukan penagihan terhadap penanggung dalam hal debitur
tersebut wanprestasi. Selain itu, hak-hak istimewa penanggung lainnya
seperti yang diatur dalam Pasal 1430, 1831,1833, 1834,1837,1838 dan 1850
KUH Perdata adalah pasal-pasal
yang tidak diinginkan oleh penerima jaminan untuk terus melekat pada
perusahaan asuransi sebagai penanggung dalam memenuhi kewajiban (contigency obligation) terhadap obligee/kreditur tersebut.
Dengan pengertian lain, pada saat prestasi kontraktor/principal yang dipertanggungkan kepada obligee tersebut tidak terlaksana sesuai dengan apa yang disepakati dalam perjanjian pokok, maka hanya dengan pembuktian bahwa principal tersebut telah wanprestasi, perusahaan asuransi yang menerbitkan surety bond tersebut harus telah mencairkan ganti rugi yang dijamin pembayarannya tersebut dengan segera. Halini tanpa terlebih dahulu mengharuskan obligee mengejar pelunasan dari principal sebagai akibat telah dikesampingkannya pasal-pasal yang mengatur hak istimewa penanggung tersebut.
Kemampuan ataupun
kelayakan dari si penanggung juga akan memegang peranan dari kualitas
perjanjian penanggungan itu sendiri. Pasal 1827
dengan tegas mensyaratkan kelayakan dari penanggung sebagai berikut:
"Si berutang yang diwajibkan memberikan seorang penanggung, harus
memajukan seorang yang mempunyai kecakapan untuk mengikatkan dirinya
yang cukup mampu untuk memenuhi perikatannya, dan yang berdiam diwilayah
Indonesia."
Dalam hal si penanggung adalah perorangan pribadi ataupun perusahaan biasa, maka performance dari calon penanggung tersebut akan sangat sulit untuk dipastikan. Seorang
kreditur ataupun penerima perjanjian penjaminan tersebut akan sangat
bergantung pada reputasi si penjamin ataupun bila adanya jaminan pihak
lain terhadap penjamin tersebut. Hal ini dimungkinkan oleh Pasal 1823
(2) KUH Perd. Dan dalam prakteknya, si penerima penjaminan tersebut
dapat saja meminta jaminan kebendaan dari si penanggung atas
kesediaannya menjadi penjamin pelaksanaan preastasi dari pihak debitur
tersebut.
Dalam hal penerbitan surety bond, kecakapan dan kemampuan dari perusahaan asuransi yang menerbitkan produk jasa penjaminan tersebut akan sangat menentukan kualitas ataupun kepercayaan dari pihak penerima surety bond.
Oleh karena itu, Menteri Keuangan sebagai pengawas dan pembina dari
industri perasuransian berdasarkan UU. No.2 tahun 1992, tidak memberikan
kewenangan pada semua perusahaan asuransi untuk dapat menerbitkan surety bond.
Tampaknya, pemerintah
hanya masih akan memberikan wewenang untuk dua puluh perusahaan asuransi
sampai saat ini. Dan malah, dalam menerbitkan costoms bond masih hanya dapat dilakukan oleh lima belas perusahaan asuransi. Itu pun dengan tegas diatur dalam Pasal 2 KMK RI no. 108/KMK.01/1995 tgl. 13 Maret 1995 bahwa wewenang untuk menerbitkan customs bond yang diberikan kepada kelima
belas perusahaan masih dapat diubah atau ditinjau kembali berdasarkan
penilaian batas tingkat solvabilitas dan kemampuan pengelolaan teknis
dalam penerbitan customs bond.
Akan tetapi, tidak berarti diberikannya hak untuk menerbitkan surety bond hanya pada perusahaan asuransi yang telah terseleksi seperti yang ditegaskan oleh KMK tersebut membuat permasalahaan surety bond telah habis. Terbukti keengganan banyak kontraktor, kreditur ataupun investor, khususnya investor asing, terhadap kepastian penjaminan yang ditawarkan oleh surety bond
tersebut mengharuskan pihak perasuransian melihat ada permasalahaan
lain selain kualitas dan bonafiditas dari perusahaan asuransi tersebut.
Surety bond versus bank garansi
Banyaknya kemudahan-kemudahan yang didapatkan oleh kontraktor dengan dalam mendapatkan jasa penjaminan surety bond dari perusahaan asuransi dibandingkan dengan permohonan bank garansi melalui bank, seperti proses permohonan yang lebih cepat, surety charge
(semacam premi) yang lebih murah dibandingkan dengan provisi atas
penerbitan bank garansi, ternyata masih hanya mampu menarik perhatian
dari para kontraktor ataupun debitur yang membutuhkannya.
Sebaliknya, pihak kreditur, pemberi kerja, ataupun obligee masih
lebih meyakini bank garansi sebagai alat penjaminan yang dapat
melindungi potensi kerugian yang mungkin dialaminya apabila kontraktor
wanprestasi dalam pelaksanaan kontrak yang telah mereka sepakati.
Permasalahan tersebut lebih disebabkan oleh sifat alamiah dari surety bond
tersebut sebagai produk yang ketentuan penerbitannya tidak bisa lepas
dari prinsip-prinsip perasuransian, yang dalam beberapa hal, memberikan
kelemahan pada pelaksanaan pencairan klaim surety bond tersebut dalam hal principal wanprestasi. Persayaratan pengajuan permohonan penerbitan surety bond terhadap perusahaan asuransi tidak serumit syarat-syarat yang diajukan untuk penerbitan bank guarantee oleh pihak bank yang penerbitannya harus sejalan dengan prinsip-prinsip pelaksanaan perbankan yang prudensial.
Adanya ketentuan tentang pelaksanaan 5 C (Character, Capacity, Capability, Capital dan Collateral) membuat ketergantungan pihak bank terhadap principal lebih kecil dalam hal harus dilakukannya pencairan bank guarantee tersebut. Bank akan berani hanya melihat pada alasan-alasan hukum telah terjadinya wanprestasi oleh pihak yang dijamin (principal) tanpa harus takut hak subrogasinya akan mengalami persoalan bila tidak terlebih dahulu mendapat pernyataan pengakuan wanprestasi dari principal. Hal ini dapat terjadi karena pada umumnya Bank telah memegang jaminan yang cukup sebagai kontra garansi terhadap bank guarantee yang diterbitkannya.
Angka 10 dari SE DIR BI no.23/5/UKU tanggal 28 Februari 1991 menegaskan bahwa dalam pemberian bank guarantee bank harus terlebih dahulu melakukan penelitian dan penelaahan
yang pada hakekatnya sama dengan penelaahan yang dilakukan dalam
pemberian kredit. Hal-hal yang harus diteliti tersebut dijelaskan oleh
angka 10 tersebut sebagai berikut:
1. Meneliti bonafiditas dan reputasi pihak yang dijamin.
2. Meneliti sifat nilai transaksi yang akan dijamin, sehingga dapat diberikan garansi yang sesuai.
3. Menilai jumlah garansi yang akan diberikan menurut kemampuan bank.
4. Menilai kemampuan pihak yang akan dijamin untuk memberikan kontra garansi sesuai dengan kemungkinan terjadinya resiko.
Poin 1 sampai dengan 2
dari angka 10 di atas secara prinsip sebenarnya telah dilakukan oleh
perusahaan asuransi sebelum mengabulkan permohonan penerbitan surety bond, walaupun belum ada term of reference
diterbitkan oleh Departemen Keuangan sebagai acuan dari penilaian poin 1
dan 2 tersebut diatas. Sementara poin 3 sebagai salah satu syarat yang
secara ketat dipatuhi oleh perbankan sehubungan dengan Batas Maksimum
Pemberian Kredit (BMPK) yang harus diperhitungkan akibat dari kewajiban
membayar yang mungkin timbul (contigent liabilities) tersebut, bagi perusahaan asuransi masih tetap dapat diatasi dengan mekanisme reasuransi.
Artinya bila
Undang-Undang Perbankan no 7 tahun 1992 yang kemudian diperbaiki dengan
UU No.10 tahun 1998, yang menjadi dasar dari Serat Edaran BI tersebut
dengan tegas menolak permohonan penerbitan bank garansi yang jumlah
nilai penjaminannya diperhitungkan
akan melabihi BMPK dari bank tersebut, maka bank akan dengan tegas
menolak permohonan tersebut. Sementara bagi pihak asuransi, hal tersebut
tidak menjadi permasalahan dengan adanya pola reasuransi tersebut.
Hal yang mungkin belum dilakukan oleh pihak asuransi adalah pelaksanaan poin 4 dari persyaratan yang diajukan bank di atas. Poin 4 tentang kontra garansi yang dalam angka 11 SE DIR BI tersebut dijelaskan sebagai berikut: "sehubungan dengan angka 10.4 di atas perlu dijelaskan bahwa kontra garansi dapat berupa:
1. Kontra garansi dari bank luar negeri yang bonafid.
2. Setoran sebesar 100% dari nilai garansi yang diberikan
3. Kontra garansi
lainnya yaitu kontra garansi yang diperoleh dari pihak yang dijamin
dengan nilai yang memadai untuk menanggung kerugian yang mungkin
diderita oleh bank apabila garansi tersebut pada waktunya
direalisir&
Perbedaan pemahaman antara lembaga perbankan dengan lembaga perasuransian terhadap penjaminan tersebut, membuat sikap lembaga perbankan dengan lembaga asuransi tentang jaminan (collateral ataupun kontra garansi) sebagai syarat dari penerbitan surat penjaminan tersebut berbeda. Bank melihat penerbitan dari bank guarantee sebagai bagian dari aktifitas pemberian kredit yang menimbulkan contigent liabilities, menerapkan syarat pemberian kredit yang melihat collateral sebagai back-up dari bank guarantee yang diberikannya.
Sementara bagi lembaga
perasuransian yang tidak dapat melihat hal ini sebagai kredit atas
keterbatasan bidang usaha sebagai Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) sampai saat ini belum melihat collateral sebagai suatu solusi kepastian penyelesaian kewajiban surety dalam hal terjadinya klaim pencairan surety bond dari pihak obligee.
Di sisi lain, upaya pihak asuransi untuk menemukan solusi collateral dengan mewajibkan principal untuk menandatangani persetujuan ganti rugi (indemnity agreement) hampir tidak memberikan perbedaan apa-apa. Karena walaupun indemnity agreement
tersebut tidak ditandatangani, hak subrogasi dari perusahaan asuransi
untuk mendapatkan penggantian dari debitur atas telah diselesaikannya kewajiban debitur tersebut kepada obligee adalah merupakan hak yang timbul demi hukum (lihat pasal 1402 ayat 3 di atas). Artinya tanpa adanya indemnity agreement tersebut, perusahaan asuransi tetap dapat melaksanakan hak subrogasinya.
Tentu saja upaya pengajuan hak subrogasi terhadap principal tidak
selalu dapat terlaksana dengan mulus. Karena, debitur sering dengan
niat tidak baik hendak melepaskan diri dari kewajibannya terhadap
perusahaan asuransi tersebut. Sayangnya, sikap dari perusahaan asuransi
lebih cenderung pada posisi yang koperatif dengan principal dan selalu menekankan pelaksanaan prestasi untuk pencairan klaim surety bond berdasarkan adanya pernyataan ataupun statement wanprestasi dari principal, yang bagi kalangan yang menerima jaminan/obligeee/kreditur keadaan ini melambangkan ketidakpastian hukum dari surety bond itu sendiri.
Kelebihan yang ditawarkan oleh perusahaan asuransi terhadap produk jasa surety bond melalui kemudahan-kemudahan aplikasi serta juga murahnya biaya penerbitannya, hanya masih memberikan sisi-sisi positif pada applicant yang mungkin sangat kesulitan memenuhi persyaratan-persyaratan yang diajukan oleh bank dalam penerbitan bank guarantee.
Akan tetapi, muaranya tentu saja bagaimana surety bond tersebut memberikan kepastian atau kepercayaan pada pihak yang menerima surety bond tersebut sebagai mekanisme penjaminan. Ketidakpastian pencaiaran surety bond tersebutlah yang menjadi permasalahan bagi para obligee untuk menerima surety bond sebagai alat penjaminan oleh perusahaan asuransi.
Tentu saja hal ini harus mendapatkan kajian yang serius dari pihak asuransi agar surety bond yang diterbitkannya dapat diterima oleh kalangan dunia usaha. Kalaupun misalnya perusahaan asuransi tidak dapat meminta collateral sebagai jaminan dari principal atas diterbitkannya surety bond tersebut, paling tidak harus ada upaya untuk mengurangi ketergantungan prestasi asuransi tersebut terhadap sikap debitur/principal yang sering sekali sangat sulit untuk mengakui kesalahahan yang dilakukannya.
Konkretnya, harus ada ketegasan dimasukkannya prinsip irrevocable (surety bond yang telah diterbitkan tidak dapat ditarik kembali) dan prinsip unconditional
(pembayaran tanpa syarat) dalam hal telah terjadinya wanprestasi. Ini
perlu dalam upaya menjamin posisi hukum perusahaan asuransi penerbit
dalam hal terjadinya klaim pencairan surety bond akibat dari wanprestasi debitur. Contohnya: sebelum menerbitkan surety bond, pihak asuransi harus terlebih dahulu menganalisa perjanjian pokok yang mendasari terbitnya penjaminan tersebut.
Dalam perjanjian pokok
tersebut, harus sangat jelas diatur tentang syarat-syarat terjadinya
wanprestasi oleh salah satu pihak. Syarat-syarat ini secara tegas
memberikan hak bagi pihak yang dirugikan untuk mengajukan pemutusan
kontrak dan bahkan menuntut ganti rugi atas tidak dilaksanakannya
perikatan-perikatan dalam kontrak utama tersebut. Hak untuk pemutusan
kontrak tersebut haruslah mengecualikan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUH
Perdata yang dengan pengecualian pasal tersebut, pemutusan kontrak yang
terjadi akibat dari terjadinya wanprestasi tidak harus dilakukan melalui
pengadilan.
Penegasan hal-hal yang
disebut dalam paragraf di atas akan memberikan posisi yang lebih kuat
bagi perusahaan asuransi pada dua sisi sekaligus. Pihak asuransi akan
dengan cepat dapat merespons klaim pencairan dari obligee. Sementara di sisi lain, hak hukum dari perusahaan asuransi untuk meminta penggatian (subrogasi) terhadap principal/ debitur utama menjadi lebih kuat.
Penerapan pada empat poin di atas secara tegas akan meningkatkan kepastian hukum dari pihak asuransi untuk melakukan pencairan surety bond tersebut dalam hal telah terjadinya wanprestasi tanpa takut hak subrogasinya mendapat tantangan dari principal. Empat poin itu adalah pengesampingan hak istimewa penanggung seperti yang diatur dalam KUH perdata, penegasan sifat irrecovable dan unconditional terhadap surety bond,
penegasan tahap-tahap ataupun alasan-alasan terjadinya wanprestasi
dalam kontrak utama, dan pencantuman secara tegas pengecualian pasal
1266 dan 1267 KUH perdata pada kontrak utama. Keadaan ini tentu saja
akan menaikkan reputasi dari surety bond di kalangan dunia usaha.
Konflik surety bond dan Pengadilan Niaga
Adanya potensi konflik yang disebabkan oleh permasalahan dalam pencairan surety bond
tidak saja akan memberikan efek kurangnya kepercayaan pelaku usaha
terhadap produk penjaminan yang diterbitkan oleh perusahaan asuransi
tersebut. Akan tetapi, juga potensi perusahaan asuransi sebagai penerbit
untuk diperkarakan di depan pengadilan.
Dengan hadirnya Pengadilan Niaga, umumnya obligee yang merasa telah mempunyai hak untuk mengklaim pencairan dari surety bond
tersebut akan mengambil tindakan hukum dengan mengajukan permohonan
pernyataan pailit terhadap perusahaan asuransi yang menerbitkan
penjaminan tersebut. Perkara serupa telah pernah diajukan kepada salah
satu perusahaan asuransi milik negara atas tidak dicairkannya surety bond yang digunakan untuk menjamin promissory notes yang diterbitkan oleh principal.
Contoh di atas harus
menjadi perhatian penting dunia asuransi. Karena potensi permohonan
pailit yang menurut UU no. 4 tahun 1998 dapat diajukan secara langsung
pada perusahaan asuransi, tidak selalu disebabkan oleh konflik antara
penanggung dan tertanggung dalam konteks perjanjian asuransi seperti
yang diatur dalam Pasal 246 dan 247 KUH Dagang serta UU. No. 2 tahun 1992.
Ricardo Simanjuntak, SH.LL.M. adalah pengamat hukum bisnis dam advokat di Firma Hukum Gani Djemat & Partner
Ricardo Simanjuntak
Sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol4016/isurety-bondi-dan-kepastian-hukum-penjaminan-di-indonesia-